Pernikahan Ela

Nadia Almira Sagitta
4 min readOct 13, 2022

--

sumber gambar: dok. pribadi

Melalui sebuah telepon video, kawanku Ela mengabari bahwa hubungannya dengan seorang lelaki Sunda akan mengerucut ke pernikahan. “Akhirnya, Elaaaa!” jeritku. Dia berharap ini yang terakhir, aku mengaminkan. Patah hati berkali-kali bukan pengalaman menyenangkan. Aku tahu kepingan mozaik cerita Ela. Matahari senja di atas tenda Cikini merekam jejak nostalgia kami. Ela pun demikian, ia pernah mendengar hatiku pecah menyerpih nun jauh di Yogya. Aku masih ingat malam itu, El. Baru saja selesai kutelepon sahabatku, menangis dan memaki sosok itu bersama, lalu aku lelah. Tulang-tulangku serasa dilolosi, hatiku yang tadinya penuh tiba-tiba menyisakan rongga kosong. Tidak ada kelegaan sama sekali. Kemudian kuhubungi engkau. Meminta maaf sudah mengusik malammu dan membanjiri detik-detikmu selanjutnya dengan isakan penghabisan. Kamu satu-satunya yang mengademkan hatiku setelahnya. Menghadirkan setitik kelegaan melalui hikmah berserah.

Katamu, manusia hanya bisa pasrah dan lapang dada atas kisah yang telah Allah susun dengan begitu sempurna. Sang Maha hendak mengajarkan kita sesuatu melalui perantara orang lain.

Sebenarnya kita berdua bukanlah teman dekat sedari awal. Iya kan, El? Aku mahasiswi sastra Indonesia, engkau sastra Jerman. Kita bertemu di pelataran musala sastra atau pertemuan singkat lembaga dakwah. Sejauh yang kuingat, kita dekat semenjak aku mengikuti mata kuliah sastra anak yang diampu Prof. Riris Sarumpaet. Kamu begitu terpesona dengan dunia anak-anak, El. Topik itu yang kamu perjuangkan di skripsi sampai-sampai perlu mengambil matkul yang sebetulnya di luar jurusanmu. Isu sastra anak kamu kejar hingga ke Jerman. Aku ingat binar-binar antusias ketika kamu bertemu Arne — penulis buku anak Jerman yang terkenal—, perjalananmu ke rumah Astrid Lindgren di Swedia (ah, Ela, engkau lebih dulu!) juga kuingat buku-buku bacaan anak Indonesia yang kamu titip belikan untuk koleksi Bale Bace Lombok. Aku mengagumi semangat dan kegigihanmu untuk sebuah cita-cita mulia. I love your determination!

Sebagai dua insan penyuka sastra, aku merasa kita mudah terkoneksi. Kamu mengidolakan laki-laki yang tutur katanya indah dan bersastra, persis kriteriaku. Tidak ada ledekan geli atau cheesy darimu tatkala aku mencintai lelaki secara penuh. Sama denganmu, kita berdua mengerahkan segenap perasaan ketika jatuh cinta. Kamu menuangkannya dalam larik-larik sajak, sedang aku gamblang mengabadikannya dalam prosa. Mungkin bedanya, aku luluh lantak setiap patah hati, sementara kamu masih meruangkan kehadiran Tuhan untuk menuntunmu. Barangkali karena kemiripan-kemiripan ini, kamu punya tempat spesial di hatiku sebagai salah satu sahabat hidup.

Bulan Oktober tahun 2022 kalian pilih untuk mengikrarkan janji suci. Aku yang telah mendapat prakiraan tanggal acara dari jauh-jauh hari bersiap menabung. “Aku akan datang, El, insyaAllah. Aku akan ke Lombok!” Begitu percaya diri kukatakan, padahal uang belum lagi terkumpul. Tidak apa, sing penting ada tekad untuk berupaya. Aku mengajak suamiku menabung bersama demi menyaksikan hari bahagia kalian berdua.

Maka tibalah hari Sabtu, 8 Oktober 2022. Pukul sepuluh pagi kami berangkat dari area Selong Belanak, pantai yang kamu rekomendasikan sebelumnya. Mohon maaf kami tidak muncul sedari akad, ya, Ela. Semoga hadirku di resepsimu cukup. Ah ya, pagi itu hujan cukup deras. Rencana awalmu beresepsi di tengah sawah kosong batal terlaksana. Acara dipindah ke depan rumahmu. Tenda baru digelar, makanan khas dihidangkan, dan dekorasi ditata ulang. Mungkin tidak seindah idemu semula, tetapi bagiku yang baru pertama kali menghadiri pernikahan luar ruangan, ini istimewa! Anak-anak Bale Bace tersenyum hilir mudik, anak-anak yang kamu usahakan asupan bacaannya. Siang itu terasa semakin manis saat aku membaca serangkaian puisi yang kamu cetak besar-besar untuk dekorasi. Romantis ala Ela, puitis khas Nurlaelan Puji Jagad.

sumber gambar: dok. pribadi

Dari Trisna kutahu kamu akan membacakan sebuah puisi di penghujung acara. Segera kuurungkan kepulanganku. Kamu bersiap-siap menggenggam mikrofon, aku bersiap menyalakan kamera. Hei, ini kala kedua aku menyaksikanmu berdeklamasi. Pertama kali di perpustakaan terapung membawakan puisi tentang Tuhan. Kali kedua puisi cinta. Untuk suami pula. Aih, aih!

Mendengarmu menyatakan cinta yang luar biasa besar untuk sang suami, aku menangis. Iya, El, nangis aku, tuh! Aku terharu sekali bisa berada pada hari bahagiamu, di tanah kelahiranmu. Melihat langsung bungahnya hatimu di samping lelaki pilihan yang selama ini dinanti. Barakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fii khair, Ela dan Kak Riki.

Ela, terima kasih telah hadir pada hari-hari terpurukku.
Pada hari-hari bimbangku mencari kepastian.
Pada hari-hari berbungaku menjalani cinta yang baru.
Pada hari-hari khawatirku menghadapi masa depan.

sumber gambar: dok. pribadi

Semoga Allah senantiasa mencurahkan kasih-Nya kepada kalian. Meluaskan hati kalian untuk memaklumi sifat dan sikap satu sama lain, serta merekatkan cinta di antara kalian berdua. Aamiin.

Jakarta, 13 Oktober 2022
Nadia Almira Sagitta
kutulis sembari memutar rekaman puisimu berkali-kali,
dan sesekali menyeka air mata yang terbit saat bernostalgia

--

--