Pintu-Pintu
Coba lihat! Di depan kita berdiri tangga yang tiada mampu kuterka ujungnya. Kita meniti anak tangganya bersama. Pelan-pelan. Selama perjalanan, kau membuat lelucon demi memecahkan suasana, sedang aku menyanyi-nyanyi kecil.
“Sudah sampai?” tanyaku.
“Entah. Kau sudah tahu mau ke mana? Kita berbincang sambil berjalan saja dahulu.”
Aku teringat masa kecil lalu kukisahkan padamu, sementara kau mengisahkan kejadian hari kemarin padaku. Tiba-tiba ada suara berat di belakang kita, “Permisi. Saya mau masuk ke situ.”
Ah, ya. Ternyata di samping kita ada sebuah pintu. Kulongokkan kepala pada papan di atasnya. Pernikahan. Kita bergeser dan menyilakan dia mengetuk daun pintu kayu itu. Kau memandangiku sebentar. Aku mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Kita kembali mengayunkan langkah. Kau melontarkan pertanyaan tentang kehidupan. Pembicaraan mendadak filosofis. Kau bingung, aku juga. Apa, ya jawabannya?
“Hei, tidak semua tanya berpasangan dengan jawab. Sudahlah, biarkan ia menggantung begitu.”
“Iya, ya? Anggap saja pertanyaan filosofis tadi menandakan kita makhluk yang berpikir.”
Kita melempar tawa lega setelah kau menutup percakapan dengan kalimat tadi. Tiba-tiba terdengar tak tok suara sepatu. Juga suara napas ngos-ngosan yang diembuskan berebutan melalui mulut. Suara dari mana gerangan?
Tangga di hadapan kita mulai mengular ke arah kanan. Tangan kita meraba dinding sebab tak ada pegangan. Sampailah kita di sebuah ruang tertutup. Pintu lagi. Kueja papan namanya. P-e-r-s-a-l-i-n-a-n. Ah, rupanya ini sumber suaranya, cetusku padamu. Kita kembali berpandangan lalu menggeleng. Perjalanan pun kita teruskan.
Dua jam perjalanan semenjak meninggalkan ruang terakhir, kita belum menjumpai pintu lagi. Alhasil, tidak ada pilihan selain lanjut berjalanan. Akan tetapi, aku lelah. Ingin istirahat. Kau juga, sih, kuduga. Peluhmu bercucuran begitu. Tidak ada pendingin udara atau kipas angin di sini. Terang saja panas. Tangganya pun makin lama makin tinggi saja. Butuh usaha ekstra menapakinya.
“Duduk dulu, yuk.”
“Yuk! Aku juga mau membuka perbekalan, kau mau?”
“Wah, kau kepikiran saja. Aku hanya bawa botol minum.”
“Tidak apa-apa. Aku bawa cukup banyak untuk kita berdua.”
“Kau belum tahu mau berhenti di mana?” tanyamu membuka percakapan.
“Mana aku tahu. Dua pintu sebelumnya tidak menarik hatiku. Kau sudah?”
“Ya, sama. Mengapa harus kita putuskan sekarang? Masih banyak waktu, kan. Lingkungan kita ini, lho, suka sekali memutuskan sesuatu secara terburu.”
“Tidak ada tempat bagi mereka yang terombang-ambing tanpa tujuan. Terlebih pada usia kita saat ini.”
“Ah, itu lagi. Usia dan pencapaian lagi.”
Hening. Aku tahu kau sedang berpikir. Barangkali tersentak sadar. Aku tidak lagi melanjutkan pembicaraan. Kau menuntaskan gigitan terakhir pada roti isi lalu membereskan sampah-sampah yang tersisa. Masuk ransel sebab tidak ada tong sampah yang tertangkap mata.
Langkah kita menjumpai sebuah pintu. Aku menggigit bibir. Kau yang berjalan lebih dahulu menyadari langkahku yang lengket di anak tangga pintu tersebut. Kau memindai gerakan tubuhku lalu memberiku pelukan. Lenganku melingkar erat pada pundakmu.
“Aku tahu kau menantikan ini sedari awal mula.”
Lunturlah pertahananku. Kau mendengarku menangis lirih.
“Aku takut.”
“Masuklah.”
“Kau tidak ikut?” Kau menggeleng. “Aku tidak mau memasukinya seorang diri. Siapa yang bisa menebak apa isi di balik pintu ini? Dari tadi kita tidak memasuki satu ruangan pun. Kalau isinya anak tangga tanpa ujung lagi, bagaimana? Aku harus menghadapinya sendirian. Nanti aku harus mengandalkan siapa?”
“Hei, hei, dengar. Kau harus berani. Hidup ini sejatinya memang sendiri. Aku tidak mungkin mengikutimu terus, demikian juga kau. Aku tidak tahu ada apa di balik sana. Apakah nanti jalannya lurus, berkelok, berbatu, terjal, atau landai. Yang aku tahu, kau mau berhenti di sini. Iya, kan?”
“Kurasa begitu.”
“Maka masuklah. Hadapi apa yang kau mau. Jangan lagi lari.”
“Lalu kau bagaimana? Mau meneruskan perjalanan?”
“Sepertinya tidak. Aku akan pulang. Aku harus memikirkan pembicaraan kita matang-matang sebelum memutuskan langkah selanjutnya.”
“Ah, sudah jauh sekali kita.”
“Ya, tidak apa-apa. Barangkali harus mundur dulu. Kau masuklah.”
Aku membuka pintu. Kau menuruni anak tangga dan memberiku satu lambaian lagi. Sayup-sayup kudengar penggalan sepatah lagu, “Yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri.”
Kau kembali ke pintu utama. Sebermula tempat kita bertemu lalu sepakat untuk berpetualang. Pintu pekerjaan. Aku menguatkan hati dan menyusuri ruang yang utama di hatiku. Pendidikan.
Jakarta, 20 Desember 2019
Nadia Almira Sagitta
telah dikirim terlebih dahulu di Instagram story pribadi