Ulasan Film 27 Steps of May (2018)

Nadia Almira Sagitta
4 min readMay 8, 2019
sumber gambar: melali.news

Ketika melihat poster film ini pada PIFF Februari lalu, aku memasukkan 27 Steps of May ke dalam daftar tontonan. Sayang, ketika menonton cuplikan filmnya, aku sempat meragukan keindahan film ini. Keinginan menonton pun maju mundur sebab beberapa orang bilang film ini depresif. Akan tetapi, pendapat tiap penonton boleh jadi berbeda maka ujungnya kutonton juga.

Film 27 Steps of May mengangkat tema yang berat, yakni trauma dari kekerasan seksual, dan menyuguhkan adegan eksplisit yang membuat bulu kuduk merinding. May diperankan oleh Raihaanun dan ayah May diperankan oleh Lukman Sardi. Selain mereka, ada Ario Bayu sebagai pesulap dan Verdi Solaiman sebagai kurir boneka.

Delapan tahun lalu, seorang remaja 14 tahun diperkosa beramai-ramai dalam perjalanan pulangnya. Gadis itu bernama May. Semenjak kejadian itu, May membatasi diri dari dunia luar dan menolak bersuara kepada siapa pun, termasuk bapaknya. May dan Bapak hidup dalam kesenyapan. Makan berdua, bekerja berdua, tanpa komunikasi.

Aku menonton ini setelah Kucumbu Tubuh Indahku yang terlebih dahulu berbicara tentang trauma. Trauma itu terekam pada tubuh. Trauma pemerkosaan May terekam jelas pada tubuhnya. May meneguhkan trauma itu melalui sayatan silet pada pergelangan tangan. Acapkali teringat pada peristiwa nahas tersebut, ia membaret lengannya.

Ketika adegan pemerkosaan terbayang berulang kali, aku menangis teringat sesuatu. Belasan tahun silam ketika duduk di bangku SMP, aku mengalami pelecehan dari pengemudi motor yang berhenti untuk menanyakan jalan. Sekonyong-konyong wajah itu datang kembali. Laki-laki maupun perempuan yang memiliki pengalaman serupa, entah pelecehan entah kekerasan seksual, akan mudah hanyut dalam dunia May. Setidaknya, kalian tidak akan merasa sendiri.

May hidup dalam rutinitas. “Karena rutin, dia bertahan,” ucap Bapak. Tiap pagi dia menyetrika baju pastelnya hingga licin, menggelung rambut kemudian menjepitnya, menghitung puluhan boneka dalam rak, mengerjakan pesanan boneka berdua dengan Bapak, menyantap hidangan yang telah disiapkan khusus oleh Bapak, dan lompat tali hingga lelah. Rutinitas monoton ini disuguhkan berulang pada penonton hingga kita turut merasa jenuh.

sumber gambar: cnnindonesia.com

Aku tertarik dengan simbol-simbol yang digambarkan dalam film. Pertama, makanan May serba putih (nasi, tahu putih, taoge, telur rebus). Masih berkaitan dengan warna, baju yang dikenakan May cenderung pastel, seperti merah muda, putih, dan kuning muda, dengan kaus kaki putih setinggi lutut. Apakah ini menunjukkan hambarnya kehidupan May? Apakah pemilihan warna putih ini berkaitan dengan makna kesucian dan kepolosan yang telah direnggut paksa? Mungkin saja. Kedua, May digambarkan selalu mencepol rambutnya ke atas. Pada pertengahan film ketika May mengenal rasa cemburu, ia membiarkan rambutnya tergerai. Simbol ini menunjukkan pembebasan diri May dari aturan yang ia ciptakan sendiri. Sejujurnya, Raihaanun terlihat lebih manis ketika menggerai rambutnya dan lebih approachable.

Ah ya, beberapa orang kurang senang dengan pemilihan Raihaanun sebagai May remaja. Memang tampilannya tidak meyakinkan sebagai remaja meskipun kru mencoba mengelabang rambut Raihaanun, tetapi aku tidak bisa membayangkan orang yang lebih pas untuk memerankan adegan May diperkosa. Barangkali emosinya akan kurang mengena bila aktrisnya berbeda.

sumber gambar: Twitter @27stepsofmay

Bapak memiliki dua sikap yang bertolak belakang. Di rumah ia sangat lembut dan sabar menyikapi May, sementara di luar rumah ia sangat garang ketika beradu tinju dengan lawan. Bapak melampiaskan rasa bersalah juga amarahnya melalui tinju. Kesibukannya di ring tak jarang meninggalkan kekosongan di hati May. Beberapa kali Bapak tak pulang karena mengalami masalah saat bertinju. Aku gemas dengan sikap Bapak yang sering meninggalkan May di rumah dan tak mencoba berdialog dengan putrinya. Yah, tampaknya memang tak semudah itu penyintas bercerita, pun pada keluarganya.

sumber gambar: Twitter @27stepsofmay

Untuk itulah sutradara menghadirkan sosok pesulap. Sosok ini dipercaya oleh tokoh utama untuk menceritakan masalahnya. Sang pesulap berkomunikasi dengan May melalui trik-trik sulap. Keberadaan pesulap di balik kamar May menimbulkan pertanyaan tersendiri. Beberapa orang menganggapnya ilusi, beberapa lagi menganggapnya nyata. Kurasa sang pesulap betul-betul ada sebab ada satu adegan yang membuktikan itu. Sayangnya, kenapa May dan pesulap hanya berinteraksi melalui lubang di dinding? Ketika May sembuh, pesulap tidak hadir menemani May. Padahal, pesulap memiliki peran yang krusial dalam kesembuhan May. Sebenarnya pesulap ini nyata atau khayalan May saja, sih?

Aku menyayangkan reaksi May yang biasa saja ketika tokoh pesulap memeluknya dari balik dinding. Kok, bisa? Kita bicara soal korban gang rape, lho. Bicara soal perempuan yang menyimpan trauma dan mengurung diri hingga delapan tahun. Seharusnya, tidak semudah itu ia mau dipegang oleh laki-laki. Orang asing pula.

Satu hal yang penting digarisbawahi: penyintas pelecehan seksual tidak mudah percaya dan bercerita. Sebagai orang terdekat penyintas, kita perlu untuk hadir dan ada tanpa memaksa mereka untuk bercerita.

Film yang disutradarai oleh Ravi Bharwani dan ditulis oleh Rayya Makarim ini minim dialog. Gambar memang dapat bercerita lebih banyak asal diambil dengan tepat. Bravo untuk film yang tak cerewet, namun menyesakkan hati ini! Mari segera nikmati (kembali) film 27 Steps of May di bioskop mumpung belum turun layar. :D

Cheers,
Nadia Almira Sagitta

--

--