Ulasan Film Aruna dan Lidahnya (2018)

Nadia Almira Sagitta
4 min readOct 8, 2018

--

sumber: @palarifilms

Ini ulasan film Indonesia keduaku di Medium dan keduanya film besutan Edwin. Reputasi sutradara merupakan salah satu faktor yang aku pertimbangkan dalam menonton film. Karena suka (banget) dengan Posesif, tanpa ba-bi-bu aku langsung berangkat ke Cinespace demi ini! Iya, nonton di bioskop alternatif sebab film Aruna dan Lidahnya telah turun layar di bioskop dekat rumah.

Aruna, seorang ahli wabah, diutus kantor untuk melakukan investigasi kasus flu burung di Surabaya, Pamekasan, Singkawang, dan Pontianak. Bono, sahabatnya yang berprofesi sebagai koki, ikut menemani Aruna (Dian Sastrowardoyo) ke sana dengan tujuan lain: kulineran bersama. Sesampainya di lokasi, mantan rekan kerja yang pernah Aruna taksir— Farish —menghampiri Aruna dan Bono (Nicholas Saputra) di warung makan. Adegan ini aneh banget, sih, seolah-olah kebetulan, tetapi sebenarnya sudah direncanakan. Farish (Oka Antara) ditugaskan untuk mendampingi Aruna. Nah, bagaimana mungkin Farish melacak keberadaan Aruna kalau sebelumnya tidak menghubungi dulu? Belum-belum Aruna selesai dengan kekagetannya, Nadezhda (Hannah Al Rashid) datang. Nad ini sahabat Aruna dan Bono yang bekerja di luar negeri sebagai penulis bidang kuliner. Kemenarikan cerita dimulai dari sini.

Gabungan dari penyorotan makanan dan efek suara yang ditimbulkan saat proses masak-makan di film ini, tuh, juara! Aku jatuh cinta sejak Aruna memasak sop buntut. Suara pisau memotong tomat, suara kuah merembes ke nasi, suara sendok berdentingan dengan piring, duh! Bayangkan saja apa yang terjadi selama 106 menit yang menampilkan berbagai macam makanan khas daerah. Di Jawa, mereka mencicipi rawon Surabaya, soto ayam Lamongan, kacang koah Surabaya, dan campur lorjuk. Di Kalimantan, mereka memakan pengkang, choi pan, bakmi kepiting, dan nasi goreng Pontianak. Air liur terbit di sudut bibir, sementara aku cuma bisa menahan keinginan hingga film usai. Teknik sinematografi menembus dinding keempat atau breaking the fourth wall, yakni pemain berinteraksi kepada penonton, menjadi poin tambah film ini. Sejauh pengetahuanku, belum ada film Indonesia yang menerapkan teknik ini. Teknik ini lebih sering kutemukan di teater.

sumber: @palarifilms

Tidak hanya menggugah selera penonton dari segi visual, Aruna dan Lidahnya juga menawarkan masalah-masalah yang menarik, salah satunya tentang cinta. Aruna pernah dan masih naksir Farish, Bono masih naksir Nadezhda, sementara dua orang itu memiliki kisah cintanya masing-masing. Kompleksitas kisah cinta Nad dan Farish memiliki kesamaan, yakni sama-sama dijadikan orang ketiga dalam rumah tangga seseorang. Selingkuhan istilahnya. Cukup bikin geregetan ketika Nad mengungkap alasan kesediaannya menjadi pelakor, “Gue pengin tantangan. Gue pengin memastikan bahwa gue baik-baik aja ketika dia memutuskan untuk pulang. Ke istrinya.” Buset, ah! Nyaris saja aku antipati padanya sampai Aruna bertanya, “Lo… memangnya selalu sampai tahap itu sama cowok lo?”
“Ya memang cuma bisa sampai tahap itu.”
“Memangnya ada tahap di atas itu?”
“Ada. Contohnya, gue nggak bisa jalan sambil gandengan tangan.”
Ini menohok banget, sih. Penonton yang menganggap seks sebagai capaian teratas dari hubungan mendapat pandangan baru. Ternyata, casual sex itu bukan parameter keintiman. Tidak selamanya keintiman diwujudkan dengan seks, perilaku romantis sederhana juga cukup.

Pemilihan lagu pengantarnya sangat klasik, “Aku Ini Punya Siapa” dari January Christy, lho! Andaikata orang tuaku tidak sering memutar lagu ini di rumah, mana mungkin aku akrab dengan suaranya. Ada juga lagu “Antara Kita” dari grup Rida Sita Dewi yang dinyanyikan ulang oleh Monita. Favoritku lagu “Takkan Apa” dari Yura Yunita. Memikat pendengaran!

Di samping kelebihan, tentu ada pula kekurangannya. Ada satu cacat editing yang kutemukan, yaitu adegan perahu. Posisi duduk Aruna yang awalnya di belakang Bono berubah sejajar dengan Bono. Rasanya kurang masuk akal kalau Aruna berpindah tempat duduk dengan waktu yang sangat singkat. Keberadaan toilet ciamik di tengah gunung juga aneh. Toilet itu terlalu cantik dengan susunan dinding kayu yang rapi dan kloset duduk. Makin aneh karena toilet seapik itu tidak memiliki penjaga. Adegan aneh lainnya adalah adegan rumah sakit. Dua pasien terduga flu burung tidak tampak begitu sakit, malah mereka lancar menceritakan kenangan-kenangan pada Aruna dan Farish. Aura sakitnya kurang meyakinkan. Meskipun begitu, aku menangkap maksud yang ingin dibawakan Edwin: komunikasi adalah hal primer yang dibutuhkan semua orang, tidak terkecuali orang sepuh.

sumber: @palarifilms

Pemilihan aktor dan aktris sedikit bikin penonton kecele. Kita yang terbiasa melihat Dian Sastro berpasangan dengan Nicholas Saputra sebagai kekasih, kali ini harus memandang mereka sebagai sepasang sahabat. Huhuhu, sepanjang menonton, aku pengin banget alurnya berubah! Meskipun demikian, akting mereka tetap asyik, kok. Akting mereka berempat, sih, tepatnya. Mengalir. Relasi sahabat dan rival digambarkan dengan begitu baik. Ada satu adegan lucu saat Bono dan Farish pipis di balik pohon. Mereka berlomba “jauh-jauhan” yang menandakan sisi tidak mau kalah antara satu sama lain. Memperebutkan apa? Nah, silakan cari jawabannya di bioskop terdekat! Film ini masih diputar di beberapa bioskop Jakarta. Untuk kamu yang tidak kebagian, mari kita berdoa film ini diluncurkan di iFlix seperti pendahulunya, Posesif, tahun lalu.

Beberapa kutipan film ini yang menjadi favoritku:
1. “Hati-hati, jangan terlalu antipati, ntar simpati, terus empati, terus jatuh hati.” (Bono)
2. “Beberapa makanan tidak bisa pindah tangan.” (pasien rumah sakit)
3. “Bullshit, deh, mana ada orang yang mau sendirian.” (Nad)
4. “Yang pertama mesti lo lakuin itu jujur sama perasaan sendiri. Lo kacau kayak gini gara-gara cinta.” (Bono)
5. Setiap kali kita kencan, kita lupain yang namanya waktu.” (Nad)

Aruna dan Lidahnya menawarkan perspektif lengkap tentang makanan: perjalanan menujunya, filosofinya, tampilannya, rasanya, suasananya, dan pendamping makannya. Makanan tidak hanya soal enak-tidak-enak atau mengenyangkan-tidak-mengenyangkan. Setidaknya begitu yang kutangkap dari orang-orang yang hidup untuk makan. Sebagai penutup, aku sematkan pertanyaan Bono, “Apa opini lo soal makanan?

Cheers,
Nadia Almira Sagitta

--

--

Nadia Almira Sagitta
Nadia Almira Sagitta

No responses yet